Demokrasi Terpimpin merupakan era politik Indonesia setelah berakhirnya era Demokrasi Parlementer. Sistem demokrasi terpimpin lahir setelah konstituante gagal merancang UUD, dan kemudian dibubarkan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Sistem ini lahir sebagai bentuk pelurusan atau perbaikan terhadap demokrasi liberal.Sistem ini digagas oleh presiden demi menyalamatkan politik nasional yang saat itu masih tidak kondusif.
Pada tanggal 21 Februari 1957 Sukarno di hadapan para tokoh politik dan tokoh militer menawarkan konsepsinya untuk menyelesaikan dan mengatasi krisis-krisis kewibawaan pemerintah. Dalam konsepsinya Presiden Soekarno menghendaki dibentuknya kabinet berkaki empat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil PNI, Masyumi, NU dan PKI. Selain itu Presiden Soekarno juga menghendaki dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya terdiri dari golongan fungsional di dalam masyarakat.
Gagasan Presiden Soekarno ini dikenal sebagai Konsepsi Presiden 1957. Pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam konsepsi tersebut, pertama, dalam pembaruan struktur politik harus diberlakukan sistem demokrasi terpimpin yang didukung oleh kekuatan-kekuatan yang mencerminkan aspirasi masyarakat secara seimbang. Kedua, pembentukan kabinet gotong royong berdasarkan imbangan kekuatan masyarakat yang terdiri atas wakil partai-partai politik dan kekuatan golongan politik baru yang diberi nama oleh Presiden Soekarno golongan fungsional atau golongan karya.
Upaya untuk menuju Demokrasi Terpimpin telah dirintis oleh Presiden Soekarno sebelum dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
- Pembubaran konstituante
- Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
- Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
- Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.
- Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
- KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
- DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.
- Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
- Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
- Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
- Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
- Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
- Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
Langkah awal Presiden Sukarno dalam bidang pemerintahan adalah melantik kabinet yang dinamakan kabinet Kerja berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 56 tahun 1959 tanggal 10 Juli 1959. Kabinet ini dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno selaku kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam kabinet ini Soekarno bertindak selaku perdana menteri, dan Djuanda menjadi menteri pertama dengan dua orang wakil yaitu dr. Leimena dan dr. Subandrio. Keanggotaan kabinet terdiri dari sembilan menteri dan dua puluh empat menteri muda.
Langkah kedua adalah pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang langsung diketuai oleh Presiden Soekarno, dengan Roeslan Abdulgani sebagai wakil ketuanya. DPAS bertugas menjawab pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Anggota DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959, dengan komposisi berjumlah 45 orang, 12 orang wakil golongan politik, 8 orang wakil /utusan daerah, 24 orang wakil golongan karya/fungsional dan satu orang wakil ketua.
DPA dalam sidangnya bulan November 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar amanat Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara. Presiden Soekarno kemudian menerima usulan pidatonya sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dengan nama “Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat Manipol.
Lembaga berikutnya yang dibentuk oleh Presiden Soekarno melalui Penetapan Presiden No. 2/1959 tanggal 31 Desember 1959 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan Chairul Saleh (tokoh Murba) sebagai ketuanya dan dibantu beberapa orang wakil ketua. MPRS dalam menjalankan fungsi dan tugasnya tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam UUD 1945, namun diatur melalui Penpres No. 2 1959, dimana fungsi dan tugas MPRS hanya menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sartono selaku ketua DPR menyarankan kepada Presiden Soekarno agar meminta mandat kepada DPR untuk melakukan perombakan struktur kenegaraan sesuai dengan UUD 1945, namun Presiden Soekarno menolak. Hal ini berarti Presiden tidak mau terikat dengan DPR. Konflik terbuka antara DPR dan Presiden akhirnya terjadi ketika DPR menolak Rencana Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh Pemerintah.
Penolakan tersebut membawa dampak pembubaran DPR oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1960. Ia kemudian mendirikan DPR Gotong Royong (DPRGR). Pelantikan anggota DPRGR dilaksanakan pada 25 Juni 1960 dengan tugas pokok melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Kedudukan DPRGR adalah Pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberikan sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh MPRS.
Tindakan Presiden Soekarno lainnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah membentuk lembaga negara baru yang disebut Front Nasional. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959. Dalam penetapan ini disebutkan bahwa Front Nasional adalah suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan citacita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional langsung diketuai oleh Presiden Soekarno.
Selain itu Presiden juga membentuk suatu lembaga baru yang bernama Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) berdasarkan Penetapan Presiden No. 4/1962. MPPR merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dalam mengambil kebijakan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR meliputi sejumlah menteri yang mewakili MPRS, DPR GR, Departemen-departemen, angkatan dan para pemimpin partai politik Nasakom